Ketika ditanya, apa yang paling kamu rindukan di masa kecilmu? Maka akan kuberbalik ke belakang, kembali ke negeri Melayu, tanah kelahiran si Upin dan Ipin.
Yah, aku pernah tinggal di Malaysia kira-kira empat tahun lebih lamanya, banyak momen dan kenangan indah tak terlupakan sejak keberadaanku di sana. Seandainya waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa-masa itu untuk merasakan kembali momen indah bersama keluarga tercinta, meski kenangan itu sudah abu-abu untuk diingat kembali.
Ada bapak bekerja sebagai mandor pada perkebunan cokelat. Aku juga tidak tahu banyak apa sih sebenarnya tugas mandor itu. Yang jelas, kulihat setiap hari ayah keluar pagi dan keliling mengawasi kinerja para pekerja kebun cokelat yang ada di kampung bernama Tanah Rata waktu itu. Kebersamaanku untuk duduk santai dan bercanda bersama beliau nyaris tak ada.
Ada emak dengan setia selalu menyiapkan sarapan dan apa saja kebutuhan bapak sebelum berangkat kerja. Bahkan seringkali aku juga melihat emak ikut kerja di kebun cokelat, mulai dari memanen, memisahkan biji dari kulitnya, hingga membawanya ke pabrik pengering khusus.
Ada tante Yola yang begitu sayang padaku. Aku merasa hampir semua kebutuhanku beliau yang penuhi, memandikan, memasangkan pakaian, menyisir, menyiapkan makan, membelikan mainan, bahkan maaf, menceboki pun beliau yang lakukan. Maka wajar dong kalau aku merasa lebih dekat dengan tante daripada emak. Waktu itu umurku antara 3 atau 4 tahun, sudah samar-samar untuk mengingatnya kembali.
Ada juga pakcik Jon yang selalu menjadi tempat aku berlindung tatkala emak marah, membelikan mainan dan memberikan aku uang jajan. Bahkan Pakcik Jon seringkali mengajak aku sepedaan ke kampung sebelah, kampung Tingkayu untuk mengunjungi rekan kerjanya di sana, tidur pun aku lebih sering bersama beliau.
Entah kenapa, aku merasa lebih nyaman bersama pakcik Jon daripada bersama emak, bapak dan saudara-saudara di rumah. Begitu juga dengan tante Yola, ada perhatian lebih dalam mengurusi masa kecilku waktu itu.
Tante Yola dan pakcik Jon, dua sosok yang sudah kuanggap seperti orang tua sendiri.
***
Sering senyum-senyum sendiri ketika membayangkan kembali masa-masa kecilku di Malaysia.
Masih teringat…
Ketika aku berusaha ikut emak dan tante panen cokelat, eh, malah aku ditinggalkannya. Emak dan tante lari sembunyi-sembunyi lewat belakang rumah, namun sayang ketahuan, aku melihatnya.
Dengan sigap, aku ikut berlari mengejar, berlari dan terus berlari hingga tak kudapati lagi jejak mereka. Sambil ngos-ngosan karena capek, aku berhenti di antara kerumunan pohon cokelat sambil mengamati sekeliling, mungkin saja emak dan tante sembunyi di balik pohon-pohon itu.
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan sebuah sosok aneh dan menyeramkan. Memakai pakaian putih dan bertopi, tapi tidak memiliki tangan dan kaki, bergerak-gerak sendiri di tempat seakan ingin menangkapku. Sontak aku langsung lari seribu kaki menuju rumah, tidak berani melihat ke belakang.
Belakangan aku baru tahu kalau ternyata sosok itu adalah orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk menakut-nakuti dan mengusir hewan yang suka mencuri buah cokelat. Hahaha, aku pun ikut takut dan terusir dibuatnya.
Masih teringat…
Ketika aku harus kejar-kejaran sambil petak umpat dengan emak karena tak mau dicukur. Sembunyi di pabrik pengering cokelat, eh malah ada adik tunjukin tempat aku sembunyi ke emak. Padahal sudah kuancam sebelum sebelum sembunyi, “Awas, jangan bilang-bilang ke emak ya.” Untung saja ada tante Yola yang datang menolongku dari cukur gratis emak, gratis tapi hasilnya kepala gundul.
Begitu juga ketika kejar-kejaran dengan emak, karena aku ogah menuruti perintahnya untuk cabut gigi. Kali ini aku tak selamat, emak berhasil menangkap dan menghukumku dengan senjata pamungkasnya, Minyak Angin Cap Kapak. Tidak sembarang minyak angin, pedisnya parah bukan main, apalagi dioles ke mata.
“Cabutin giginya! Kalau tidak, aku tambah ini minyak kapaknya.”Emak mengancam.
“Ampun mak, ampun. Iya ya aku cabut sekarang, hikshiks.” Jawabku diiringi isak tangis karena kepedisan.
Masih teringat…
Ketika pengen mandi maka harus jalan kaki ke sungai yang jaraknya beratus-ratus meter dari rumah. Tak boleh pulang kecuali harus menenteng satu atau dua buah jeriken air dari sungai. Selain untuk kebutuhan minum, isi jeriken juga digunakan untuk keperluan mencuci atau bersih-bersih di rumah.
Bagi pria dewasa biasanya membawa jeriken ukuran besar atau beberapa jeriken yang ditumpuk di sebuh gerobak. Sedang kaum ibu-ibu membawa baskon yang diletakkan di kepala, kita biasa menyebutnya dengan junjung.
Tiba di sungai sudah terlihat pemandangan yang memanjakan mata, air sungai mengalir jernih dengan suara gemericiknya menambah suasana syahdu. Hamparan pohon sekitar dan bebatuan granit di sepanjang sungai terlihat selalu siap menyambut kedatangan penduduk yang datang ke sungai.
Setiap sore, sungai di kampung Tanah Rata selalu ramai.
Pas datang, langsung saja aku melompat dan menceburkan diri ke sungai bersama budak-budak yang lain. Brrr, dingin dan menyegarkan. Sesekali kami bermain siram menyiram, lomba menyelam untuk melihat siapa yang paling lama bertahan di dalam air, atau naik ke batu besar untuk melompat kembali dengan gaya salto terbaik.
Tak jauh dari tempat kami berenang, terlihat kumpulan ibu-ibu sedang asyik bergelut dengan pakaian cuciannya masing-masing. Sambil menyikat di atas papan lebar yang sudah disusun sedemikian rupa, mereka juga tampak antusias membahas sesuatu. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya seru.
Turun ke bawah sedikit terlihat seorang anak sedang khusyu bersemedi sambil mengeram untuk mengeluarkan sesuatu dari perutnya, kata orang Bugis gayanya gaya duduk maccekkeng. Di dekatnya, hanya berjarak lima sampai tujuh meter ada bapak-bapak yang sedang menangkap ikan dengan jalanya.
Saat kucek hasil tangkapannya, wah lumayan banyak, satu ember besar. Biasanya aku ikut menikmati ikannya ketika pulang ke rumah, digoreng campur sambal tumis, wah mantapnya. Entah ikan itu tadinya udah makan sesuatu yang keluar dari perut si anak, tak jadi masalah, yang penting perut kenyang hati senang.
Masih teringat pula…
Pura tempat pak Toke beribadah dan berdoa. Sekali sepekan beliau berkunjung ke tempat tersebut membawa banyak makanan enak untuk dipersembahkan kepada Tuhannya. Letak Pura tak jauh dari rumah penduduk Kampung Tanah Rata, pas di depan Pabrik pengering Cokelat. Hanya sebuah rumah-rumah kecil dengan patung di dalamnya. Pak Toke sendiri adalah pemilik dari perkebunan Cokelat yang ada di kampung Tanah Rata, dalam artian dialah yang menggaji semua pekerja, termasuk bapakku sebagai mandor.
Keseruannya ada ketika pak Toke sudah bersiap-siap untuk pulang. Setelah berdoa dan membakar dua sampai tiga buah kayu-kayu kecil yang entah apa namanya itu, aku pun tak tau, pak Toke langsung bergegas meninggalkan rumah ibadahnya. Aku bersama budak-budak yang lain pun sudah ambil ancang-ancang, bersiap lomba memperebutkan makananan yang ada di Pura.
Ketika pak Toke sudah tak kelihatan, kami langsung tancap gas. Mmm, nyammii. Makanan yang dibawa pak Toke betul-betul mantap uenaknya. Kami tak tahu apakah makanan yang dibawa pak Toke memang sengaja ditinggalkan untuk kami, ataukah makanan itu khusus untuk Patung yang ada di Pura.
Hm, mungkin saja pak Toke mengira makanan yang ia letakkan di depan patung dimakan oleh si patung, tapi kenyataannya kamilah yang menghabiskannya. Aku belum tahu ritual seperti itu sesuatu yang dibolehkan atau tidak, makan dari sajian yang dibawa ke tempat itu pun aku tak tahu, karena aku masih umur anak TK waktu itu, yang penting hati senang dan perut kenyang, selesai.
Ditulis sebakda nonton video pendek “Beginilah Momen Indah Yang Dirasakan Anak-anak Zaman Dulu, Sebelum Mengenal Gadgets”
Bekasi, 15 Maret 2022