Murabbiku Inspirasiku

Ustadz Abdullah, aku mengenalnya ketika memasuki kelas 2 SMA, diperkenalkan oleh guru agamaku. Sebelum beliau, sudah ada dua ustadz yang membina. Namun dua-duanya tidak berlangsung lama.

Ustadz yang pertama, kira-kira ada satu bulan lebih membina kami di halaqah tarbiyah, kemudian setelah itu izin pamit keluar daerah untuk melanjutkan pendidikan.

Ustadz kedua datang menggantikan. Namun hanya genap dua kali pertemuan, teman-teman meminta aku menghadap guru agama agar ustadz yang kedua ini digantikan saja. Alasannya karena mereka sering ngantuk jikalau ustadz yang satu ini mengisi tarbiyah. Yah, sebenarnya aku juga ikut ngantuk sih. Menurut mereka, penjelasan materinya membosankan, ditambah suaranya pelan dan agak kecil.

Belakangan, ketika aku ceritakan kisahku dengan ustadz yang kedua ini kepada senior di kampus, beliau menasehati,

“Akhi, disitumi kita dilatih untuk banyak bersabar kepada guru, termasuk bagaimana kita beradab kepadanya.”

“Astagfirullah, sungguh terlalu diriku. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada materi tidak ada yang masuk, daripada ngantuk terus, mending diganti aja. Iyakan?” Gumamku dalam hati, membela diri sendiri.

Lanjut cerita, akhirnya datanglah ustadz yang ketiga sebagai pengganti dari ustadz sebelumnya.

Ustadz yang satu ini betul-betul berbeda dari dua ustadz sebelumnya. Pembawaan materinya asyik nggak bikin ngantuk. Kami pun banyak belajar adab dari beliau.

Cara jalannya, cara duduk, cara berbicaranya dan berbagai gerak-geriknya sarat dengan nilai-nilai adab yang sangat patut kami contoh.

Beliaulah ustadz Abdullah, sang Murabbi. Pertemuan perdana dengan beliau sudah meninggalkan banyak kesan yang menarik dan menyenangkan.

“Ada yang tau apa saja sifat-sifat bidadari itu?” Tanya sang murabbi memancing perhatian kami.

Kami hanya terdiam, menunggu jawaban.

“Kalau seandainya bidadari itu muncul ke dunia maka dia akan menyinari antara langit dan bumi, dan akan memenuhi bau yang semerbak antara bumi dan langit, dan sungguh kerudungnya lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Jelas sang murabbi membacakan hadis Nabi.

Sontak saja semua kepala tegak, fokus mendengar penjelasan murabbi. Tidak ditemukan tanda-tanda ngantuk seperti sebelumnya.

Yah, bertemu dengan ustadz Abdullah selalu membuat kami bersemangat, tak pernah ada kata bosan dalam mendengarkan setiap petuah-petuah beliau. Alhamdulillah, Allah mengutus beliau sebagai jalan kami menemukan banyak pelajaran dan merasakan nikmatnya hidayah.

***

Ada satu kebiasaan setiap kali kami akan tarbiyah yang baru kusesali setelah duduk di bangku kuliah. Agak lucu juga sih.

Kebetulan jadwal tarbiyah kami adalah sekali sepekan, tiap sabtu sepulang sekolah. Biasanya ustadz Abdullah sudah menunggu di parkiran sekolah menjelang jam pulang. Beliau menunggu agar ketika kami datang bisa bareng-bareng ke mushollah sekolah.

Masalahnya ketika kami datang, kami minta izin ke kantin depan sekolah terlebih dahulu untuk mengisi perut yang keroncongan. Murabbi kami tinggalkan sendiri di parkiran. Tidak mengajak ikut makan, tidak peduli dan tidak ada rasa kasihan.

Pikiran kami, lapar. Ayo makan. Sepertinya ustadz sudah makan siang di rumah, kita belum. Gas.

Nah, setelah makan baru deh kita mulai tarbiyahnya. Tak berperasaan sama sekali, murabbinya nggak dibungkusin makanan.

Justru yang biasa terjadi adalah sebaliknya. Murabbi yang membawakan kami makanan, ditambah minuman pula. Oh, ya Allah. Ada perasaan bersalah dan malu menggerogoti hati. Afwan ustadzii, maafkan kami.

Dari ustadz Abdullah jugalah aku banyak mengenal tentang kampus STIBA Makassar. Beliau pernah cerita kalau pernah di STIBA sampai enam semester, kemudian cuti karena penyakit yang beliau derita. Qadarullah, selesai masa cuti beliau tak juga kembali karena ada sesuatu dari lain hal yang lebih mendesak.

Semangat beliau untuk tetap kuliah di STIBA sebenarnya masih menggebu-gebu, namun pihak kampus sudah terlanjur mengeluarkan surat keterangan Drop Out dikarenakan beliau tak kembali-kembali, sedang masa cuti sudah habis.

Biasanya, di sela-sela materi tarbiyah beliau menyisipkan pengalamannya ketika masih kuliah di STIBA.

“Di STIBA itu bahasa sehari-harinya adalah bahasa Arab. Bahkan ada mata-mata khusus (jasus) yang akan mencatat nama-nama mahasiswa yang melanggar bahasa. Bahasa apapun yang terucap selain bahasa Arab, tetap akan dicatat sebagai pelanggaran.

Setiap bakda zuhur, nama-nama pelanggar itu akan dipanggil maju berdiri di hadapan seluruh mahasiswa dan dosen. Tentunya untuk memberikan efek jera dan malu agar di kemudian hari tidak kembali mengulang.” Tutur sang murabbi.

Dari cerita-cerita beliaulah aku mulai penasaran dengan STIBA. Apalagi ini kali pertama aku mendengar ada kampus yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.

“Cocok nih kau belajar bahasa Arab langsung dari kampus bahasa Arab.” Seru hatiku.

Di sisi lain, orang-orang terdekat sampai guru-guruku menyarankan agar aku melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri atau di sekolah tinggi kedinasan. Aku dilema. Mau ke mana aku setelah lulus.

Singkat cerita, aku lebih memilih daftar ke perguruan tinggi negeri di pulau Jawa, namun qadarullah tidak lulus. Maka sang Murabbilah yang datang menguatkan, menasihati dan memberikan motivasi untuk bangkit kembali dari rasa sedih dan kecewa.

Melalui sang Murabbilah, aku bulatkan tekad untuk daftar di STIBA Makassar, wal hamdulillah lulus.

Perlu diketahui, bahwa beliaulah yang mendampingi proses pendafaranku sampai aku lulus. Masih teringat ketika beliau memboncengku dari kota Sinjai menuju kampus STIBA di Makassar yang memakan waktu lima sampai enam jam, menemani nginap di asrama putra untuk menunggu ujian besoknya, beliau juga yang membelikan makanan selama bersama di Makassar, bahkan bantuan uang pendaftaran pun melalui wasilah beliau yang biayanya lumayan mahal.

Saat sudah berstatus mahasiswa dan sibuk-sibuknya dengan berbagai tugas dan rutinitas kampus, beliau masih menyempatkan waktunya menyapaku lewat telepon dan menanyakan bagaimana kabarku di kampus. Bahkan sekali-kali beliau mentransfer uang ke rekeningku, untuk uang jajan katanya.

Maasyaa Allah, begitu mulianya hatimu wahai Murabbiku. Aku hanya bisa mengucapkan Syukron wa Jazaakallahu Khairan atas segala kebaikan dan jasa-jasamu selama ini. Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik.

Tinggalkan komentar